TUGAS AKHIR MATA KULIAH TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
Translate
Kamis, 27 Juni 2013
Bahasa dan Sastra Sebagai Identitas Bangsa Dalam Proses Globalisasi
Pendahuluan
Kita tengah memasuki
abad XXI. Abad ini juga merupakan milenium III perhitungan Masehi.
Perubahan abad dan perubahan milenium ini diramalkan akan membawa
perubahan pula terhadap struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan
struktur kebudayaan dunia.
Fenomena paling menonjol yang tengah
terjadi pada kurun waktu ini adalah terjadinya proses globalisasi.
Proses perubahan inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang
ketiga, setelah berlangsung gelombang pertama (agrikultiur) dan
gelombang kedua (industri). Perubahan yang demikian menyebabkan
terjadinya pula pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber
pada tanah, kemudian kepada kapital atau modal, selanjutnya (dalam
gelombang ketiga) kepada penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan
dan tekhnologi).
Proses globalisasi ini lebih banyak
ditakuti daripada dipahami untuk kemudian diantisipasi dengan arif dan
cermat. Oleh rasa takut dan cemas yang berlebihan itu, antisipasi yang
dilakukan cenderung bersifat defensif membangun benteng-benteng
pertahanan dan merasa diri sebagai objek daripada subjek di dalam proses
perubahan.
Bagaimana dengan bahasa dan sastra?
Apakah yang terjadi dengan bahasa dan sastra Indonesia di dalam proses
globalisasi? Apakah yang harus dilakukan dan kebijakan yang bagaiman
yang harus diambil dalam hubungan sastra Indonesia dalam menghadapi
proses globalisasi atau di dalam era pasar bebas?
Mitos Tentang Globalisasi
Mitos yang hidup selama
ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat
dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri
. Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar
atau kekuatan budaya global.
Anggapan atau jalan pikiran yang demikian
tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah
membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknolgi telah membuat surutnya peranan kekuasaan
ideologi dan kekuasaan negara. Akan tetapi, Jhon Naisbitt dalam bukunya
Global Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari
fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt
mengatakan “Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin
perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi”. Ia di dalam
bukunya itu juga mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks
sehubungan dengan masalah ini. “Semakin kita menjadi universal, tindakan
kita semakin bersifat kesukuan”, “berfikir lokal, bersifat global.”
Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua orang, bahasa
pertama, bahasa ibu mereka, menjadi lebih penting dan dipertahankan
dengan lebih giat.
Dari pernyataan Naisbitt itu, kalau kita
mempercayai, proses globalisasi tetap menempatkan masalah lokal ataupun
masalah etnis (tribe) sebagai masalah yang penting yang harus
dipertimbangkan. Dalam bukunya yang lain Megatrends 2000, Naisbitt juga
mengatakan bahwa era yang akan datang adalah era kesenian dan era
pariwisata. Orang akan membelanjakan uangnya untuk bepergian dan
menikmati karya-karya seni. Peristiwa-peristiwa kesenian yang akan
menjadi perhatian utama dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang
sebelumnya lebih mendapat tempat.
“Berpikir lokal, bertindak global”,
seperti yang dikemukakan Naisbitt itu, pastilah akan menempatkan masalah
bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai
sesuatu yang penting di dalam era globalisasi. Proses berpikir tidak
akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk masyarakat
(lokal) Indonesia adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir dan kemudian
dilanjutkan proses kreatif, proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya
sastra, yakni karya sastra Indonesia.
Perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia
Di dalam sejarahnya,
bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa Indonesia yang
tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang kecil telah
berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah menjadi
bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian
besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu
itu telah “menggusur” sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa
Indonesia yang semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga
menggeser dan menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti
bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari
masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam
persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah
mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia
juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula.
Perkembangan yang demikian akan terus
berlanjut. Perkembangan tersebut akan banyak ditentukan oleh tingkat
kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat dan
kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa masyarakat kawasan ini,
yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan
Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia.
Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan
menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa
Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk
kawasan Asia Pasifik (mungkin termasuk Australia) menjadi tak
terelakkan. Peranan kawasan ini (termasuk masyarakatnya, tentu saja)
sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di
dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan
bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah semenjak lama
memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser
dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di
Nusantara.
Perubahan yang terjadi itu tidak hanya
menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan
permasalahan manusia baru (atau lebih tepat manusia marginal dan
tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan.
Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah tokoh
Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah
Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada
tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang
berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan
tertatih-tatih.
Dengan demikian, satra Indonesia (dan
Melayu) modern pada hakikatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang
mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia,
sastra Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi karena ia memang
berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan bahasa
dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah
masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan
masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia
(lainnya).
Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan
Alvin Toffler atau John Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola
kristal, bahasa Indonesia dan sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan
sastra) yang penting di dunia.
Politik Bahasan dan Politik Sastra
Proses globalisasi
kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya paradigma tentang
“pembinaan” dan “pengembangan” bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan
bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari
suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu
mengakomodasikan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang
mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaan dan pengembangan tidaklah
ditentukan oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat
ditentukan oleh
mekanisme “pasar”. Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan “bahasa yang baik dan benar”. Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.
mekanisme “pasar”. Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan “bahasa yang baik dan benar”. Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.
Di dalam kehidupan sastra juga diperlukan
suatu politik sastra. Sastra Indonesia harus lebih dimasyarakatkan,
tidak saja untuk bangsa Indonesia, tetapi juga untuk masyarakat yang
lebih luas. Penerbitan karya-karya sastra harus dilakukan dalam jumlah
yang besar. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi semestinya menjadi
tempat untuk membaca karya-karya sastra. Pengajaran sastra haruslah
menjadikan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran.
Di dalam proses globalisasi, posisi yang
harus diambil bukan sebagai objek perubahan, melainkan harus menjadi
subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia) amat potensial menjadi bahasa dan
sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global.
Jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan
hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia dan kawasan Asia Pasifik,
bahasa dan sastranya harus juga berkembang ke arah itu. Bahasa Melayu
(dan Indonesia) harus siap menerima peranan yang demikian. Sastra
Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah dunia
yang global. Bahasa dan sastra Indonesia (Melayu) harus mampu menjadikan
kekuatan budaya (global-trible) yang baru itu. Untuk itu, diperlukan
suatu politik bahasa ( dan sastra) yang terbuka, bukan bersifat
defensif.
Oleh:Prof. Dr. Mursai Esten
Sumber: Forum Bahasa dan Sastra
Rabu, 26 Juni 2013
Fakta Penggunaan Bahasa Indonesia di Luar Negeri
Bahasa
Indonesia adalah bahasa ibu bagi kita warga negara Indonesia. Pentingnya
kita mengetahui tentang seluk - beluk bahasa kita sendiri dan juga
tata bahasa yang digunakan merupakan satu hal penting agar kita bisa
menjadi warga negara yang baik dan bermartabat.
Mari kita lihat kembali isi dari Sumpah Pemuda tahun 1928.
Sumpah Pemuda versi orisinal:
Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoewa
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda versi Ejaan Yang Disempurnakan:
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoewa
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda versi Ejaan Yang Disempurnakan:
Pertama
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Dalam sumpah
pemuda ini jelas sekali bahwa para pemuda pun mengakui bahwa bahasa
persatuan adalah bahasa Indonesia. Namun apresiasi dan junjungan yang
tinggi terhadap bahasa Indonesia nyatanya saat ini lebih dirasakan di
negara-negara asing. Mereka bahkan menjadikannya bahasa Nasional kedua
di Negaranya.
Seperti dilansir oleh harian kompas.com (12/06/09).
“JAKARTA,
kompas..com–Pemerintah Daerah Ho Chi Minh City, Vietnam, mengumumkan
Bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua secara resmi pada bulan Desember
2007, kata seorang diplomat Indonesia.
“Bahasa
Indonesia sejajar dengan Bahasa Inggris, Prancis dan Jepang sebagai
bahasa kedua yang diprioritaskan,” kata Konsul Jenderal RI di Ho Chi
Minh City untuk periode 2007-2008, Irdamis Ahmad di Jakarta pada Jumat.”
Bahkan bahasa
Indonesia diajarkan di 45 negara lebih. Beberapa diantaranya adalah
Australia, Jepang, Vietnam, Mesir, Vietnam, dan Italia. Di Australia ada
sekitar 500 sekolah yang mengajarkan bahasa Indonesia. Bahkan,
anak-anak kelas 6 sekolah dasar ada yang bisa berbahasa Indonesia.
Tentunya kita
sebagai warga negara patut bangga dengan adanya berita ini, bahasa yang
kita gunakan sehari-hari menjadi kebanggaan pula di negeri orang lain.
Dan juga kita patut bangga terhadap orang - orang yang sudah
memperkenalkan bahasa Indonesia di luar negeri, seperti para pelajar
maupun para pekerja yang ada di luar negeri karena secara tidak langsung
merekalah yang juga turut memperkenalkan bahasa yang sangat kita
junjung ini.
Penggunaan
bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari - hari memang sering kali
diajarkan dalam kegiatan belajar di sekolah - sekolah, namun perlu
adanya kontrol yang konsisten dari guru maupun orang tua agar bahasa
Indonesia ini tidak dikalahkan oleh bahasa gaul atau alay yang sekarang
lagi marak peredarannya di negara kita ini, yaitu dengan memperkenalkan
bahwa berbahasa Indonesia itu penting sebab bahasa Indonesia merupakan
bahasa ke-3 tersulit di Asia.
Tahun 1928 Bahasa Indonesia telah ditetapkan sebagai bahasa persatuan yang tercetus dalam salah satu butir dalam sumpah pemuda yang berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”.
Hingga
kini Bahasa Indonesia terus mengalami kemajuan, dalam arti kata
penambahan-penambahan kosakata Bahasa Indonesia terus bertambah, baik
yang diserap dari bahasa daerah maupun bahasa asing seperti bahasa
Inggris dan Bahasa Arab.
Seiring
perkembangan zaman pula, pengguna Bahasa Indonesia juga terus bertambah,
bukan saja masyarakat Indonesia sendiri tetapi juga masyarakat dari
negara-negara lainnya.
Hal ini
tentunya tidak terlepas dari peran bangsa ini yang dinilai semakin
penting di mata dunia karena kiprahnya yang cukup penting di mata dunia,
baik dari segi ekonomi mengingat pangsa pasar yang cukup besar maupun
dari segi peran serta dalam menjaga perdamaian dunia melalui pengiriman
pasukan ke negara-negara yang berkonflik.
Menurut Kepala Bidang Pengembangan, Pusat Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional,
Drs Mustakim Mhum, dalam seminar Bahasa Indonesia Untuk Penutur Asing
(BIPA) dan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) di Medan, akhir
Oktober 2009 lalu, mengatakan, Bahasa Indonesia sangat berpotensi besar
menjadi bahasa penghubung antarbangsa, seiring semakin tingginya minat
warga asing untuk mempelajarinya.
Berdasarkan
data yang tercatat di Pusat Bahasa, Bahasa Indonesia telah diajarkan
kepada orang asing di berbagai lembaga, baik di dalam maupun di luar
negeri.
Di dalam negeri
misalnya, saat ini tercatat tidak kurang dari 76 lembaga yang telah
mengajarkan Bahasa Indonesia kepada penutur asing, baik di perguruan
tinggi, sekolah maupun di lembaga-lembaga kursus.
Sementara di
luar negeri, pengajaran Bahasa Indonesia Untuk Penutur Asing (BIPA)
telah dilakukan di 46 negara, yang tersebar di seluruh benua dengan 179
lembaga penyelenggara.
“Lembaga-lembaga
tersebut misalnya seperti perguruan tinggi, KBRI, pusat-pusat
kebudayaan, sekolah Indonesia di luar negeri dan lembaga-lembaga kursus
lainnya. Ini tentunya peluang besar bagi Bahasa Indonesia untuk menjadi
bahasa internasional,” katanya.
Apa yang dikatakan Mustakim tersebut juga mendapat dukungan dari Kepala Balai Bahasa Medan, Prof Amrin Saragih.
Menurut Amrin,
Bahasa Indonesia yang juga merupakan jati diri bangsa Indonesia dapat
menjadi bahasa internasional seperti halnya bahasa Spanyol, Inggris,
China, maupun Prancis.
“Dengan dipelajarinya bahasa Indonesia di lembaga-lembaga pendidikan di beberapa negara di dunia, merupakan peluang emas bagi bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa internasional,” katanya.
Begitu pun,
kata dia, usaha menjadikan bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa
internasional harus dimulai dari masyarakat Indonesia sendiri. Artinya,
masyarakat Indonesia harus lebih mencintai bahasanya sendiri daripada
bahasa asing.
Yang ironisnya,
justru dewasa ini kemurnian bahasa Indonesia banyak dirusak oleh
masyarakat itu sendiri, terutama kalangan muda dengan banyak menggunakan
bahasa campuran. Begitu juga dengan pemimpin-pemimpin kita yang juga
banyak menggunakan bahasa campuran baik dalam forum resmi maupun tidak.
Menurut dia,
sebenarnya peluang Bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa internasional
pernah terbuka pada 1960-an ketika Indonesia memprakarsai terbentuknya
perkumpulan negara-negara di Asia Tenggara yang juga disebut dengan
ASEAN.
Saat itu
negara-negara yang menjadi anggota ASEAN seperti Malaysia, Singapura,
dan Brunei adalah negara-negara yang banyak masyarakatnya menggunakan
bahasa melayu.
Namun, peluang
itu menjadi hilang seiring dengan semakin bertambahnya negara-negara
anggota ASEAN yang lebih banyak masyarakatnya tidak menggunakan bahasa
melayu seperti Vietnam, Myanmar, Laos.
Pada bagian lain, Armin mengatakan dalam sistem pendidikan Indonesia, bahasa pengantar atau bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia.
Namun,
kenyataannya menunjukkan bahwa saat ini sejumlah sekolah telah
menyatakan diri sebagai sekolah internasional dengan kebanggaan bahwa
bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran adalah
bahasa asing, khususnya bahasa Inggris.
Secara tidak
langsung keadaan ini menunjukkan bangsa Indonesia telah mengalami krisis
identitas, yang realisasinya adalah krisis dalam pemakaian bahasa
Indonesia dalam berbagai bidang.
Pengajaran BIPA
Pengajaran BIPA
merupakan pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing, yakni
penutur bahasa selain Bahasa Indonesia dan bahasa daerah, termasuk
bahasa Melayu misalnya penutur bahasa Inggris Prancis, Jerman, Jepang
dan Arab.
Kegiatan
pengembangan pengajaran BIPA ini bertujuan menyebarluaskan penggunaan
bahasa Indonesia di kalangan masyarakat internasional, dalam rangka
menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa perhubungan luas pada tingkat
antarbangsa dan dalam rangka ikut serta memulihkan citra Indonesia di
dunia internasional.
BIPA sudah
merupakan suatu tuntutan zaman karena di tengah era global peranan
Indonesia dalam kancah pergaulan antarbangsa telah menempatkan Bahasa
Indonesia sebagai salah satu bahasa yang dipandang penting di dunia.
Hal ini juga
ditunjang posisi Indonesia dalam percaturan dunia yang semakin penting,
terutama melalui peranannya dalam turut serta menyelesaikan
konflik-konflik politik di berbagai kawasan maupun karena posisi
geografis Indonesia yang sangat strategis.
Kenyataan ini
telah menyebabkan banyak orang asing yang tertarik dan berminat
mempelajari Bahasa Indonesia sebagai alat untuk mencapai berbagai
tujuan, baik tujuan politik, ekonomi atau perdagangan, seni budaya
maupun wisata.
Dengan
banyaknya lembaga penyelenggara pengajaran Bahasa Indonesia di luar
negeri tentunya merupakan suatu potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai
sarana untuk menyebarluaskan berbagai informasi tentang Indonesia.
Dapat dikatakan
lembaga penyelenggara pengajaran BIPA di luar negeri itu merupakan agen
Indonesia yang potensial untuk ikut serta memperkenalkan Indonesia di
dunia internasional.
Untuk itu sudah
sepantasnya pemerintah termasuk perwakilan pemerintah Indonesia di luar
negeri menjalin kerja sama yang lebih erat dengan lembaga-lembaga
tersebut.
Masih jalan ditempat
Sejak 15 tahun
lalu, perbincangan tentang BIPA telah diselenggarakan dan sampai hari
ini penyelenggaraan pengajaran Bahasa Indonesia ini tampaknya semakin
tertata dengan rapi.
Namun dalam
perjalanannya, pengajaran BIPA bukan tidak mendapat tantangan atau
hambatan yang tidak kecil. Bahkan untuk Sumut sendiri pengajaran BIPA
terkesan jalan ditempat dan belum seperti yang diharapkan.
Kepala Pusat
Bahasa Universitas Negeri Medan (Unimed) Prof Busmin Gurning,
mengatakan, penyelenggaraan pembelajaran BIPA di Sumut masih cenderung
bersifat musiman.
Hal ini
ditandai dengan masih rendahnya jumlah institusi yang memberi perhatian
khusus dan terencana untuk mengelola BIPA secara berkelanjutan. Keadaan
ini menjadi tantangan serius bagi pemerhati dan penyelenggara BIPA
seperti Balai Bahasa Medan.
Untuk itu,
diperlukan perhatian serius untuk pengelolaan penyelenggaraan yang lebih
baik, sehingga Sumut menjadi tujuan kunjungan penutur asing, baik yang
berwisata, berbisnis atau bekerja dan tempat belajar Bahasa Indonesia
yang lebih baik.
Menurut dia,
perencanaan penyelenggaraan BIPA sangat dipengaruhi oleh jumlah penutur
asing yang datang ke Sumut yang ingin mempelajari dan menguasai bahasa
Indonesia untuk tujuan komunikasi.
Dalam kunjungan
penutur asing ke daerah ini, dimulai dengan layanan dalam Bahasa
Indonesia atau Bahasa Inggris sejak dari kantor imigrasi, ke hotel,
pusat-pusat perbelanjaan sampai dengan ke tempat bekerja atau tujuan
wisata mereka.
Keterpaduan layanan dengan Bahasa Indonesia yang baik dapat menginspirasi mereka untuk belajar Bahasa Indonesia.
Dalam hal ini
Bahasa Indonesia telah menunjukkan jatidirinya sebagai bahasa yang
prestisius dan fungsional dalam tindakan komunikasi untuk tujuan
informasi yang baik terutama dalam hal sosial budaya. “Untuk tujuan
inilah para pemerhati Bahasa Indonesia harus lebih serius merencanakan
pembelajaran Bahasa Indonesia kepada penutur asing yang lebih praktis
dan alamiah,” katanya. ( ant )
sumber :
http://beritasore.com/2010/01/02/bahasa-indonesia-menuju-bahasa-internasional/
http://bahasa.kompasiana.com/2012/08/23/apresiasi-kita-dan-dunia-untuk-bahasa-indonesia/
sumber :
http://beritasore.com/2010/01/02/bahasa-indonesia-menuju-bahasa-internasional/
http://bahasa.kompasiana.com/2012/08/23/apresiasi-kita-dan-dunia-untuk-bahasa-indonesia/
Indonesia Bahasa Tersulit Urutan 3 Dunia
* Bahasa Indonesia dipelajari oleh 45 Negara di dunia.
Isi berita Ini menegaskan jika bahasa Indonesia kini mulai dipelajari
oleh 45 negara di dunia. Menurut Andri Hadi, negara yang mempelajari
bahasa tersebut di antaranya adalah: Australia, Amerika, Kanada,
Vietnam, dan banyak negara lainnya. Ia menjelaskan jika bahasa Indonesia
menjadi bahasa popular keempat di Australia. Ada sekitar 500 sekolah
mengajarkan bahasa Indonesia di sana. Bahkan anak-anak murid kelas 6
sekolah dasar di sana sudah mahir berbahasa Indonesia.
* Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua di Kota Ho Chi Minh.
Ho Chi Minh adalah ibukota negara Vietnam. Menurut seorang diplomat Indonesia. Pada bulan Desember 2007 Pemerintah Daerah Kota Ho Chi Minh, Vietnam, secara resmi mengumumkan Bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua di Kota Ho Chi Minh.Selain itu Konsul Jenderal RI di Ho Chi Minh City untuk periode 2007-2008, Irdamis Ahmad di Jakarta mengatakan, “Bahasa Indonesia sejajar dengan Bahasa Inggris, Prancis dan Jepang sebagai bahasa kedua yang diprioritaskan,”
Ho Chi Minh adalah ibukota negara Vietnam. Menurut seorang diplomat Indonesia. Pada bulan Desember 2007 Pemerintah Daerah Kota Ho Chi Minh, Vietnam, secara resmi mengumumkan Bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua di Kota Ho Chi Minh.Selain itu Konsul Jenderal RI di Ho Chi Minh City untuk periode 2007-2008, Irdamis Ahmad di Jakarta mengatakan, “Bahasa Indonesia sejajar dengan Bahasa Inggris, Prancis dan Jepang sebagai bahasa kedua yang diprioritaskan,”
Salah satu penyebab bahasa Indonesia begitu diminati oleh bangsa
Vietnam antara lain karena kemungkinan meningkatnya hubungan bilateral
antara Indonesia dengan Vietnam di masa depan.
* Wikipedia bahasa Indonesia yang menduduki peringkat ke 26 di dunia.
Dikutip dari web tersebut: “Wikipedia Indonesia kini berada di peringkat 26 dari 250 Wikipedia berbahasa asing di dunia. Sedangkan di tingkat Asia kita berada di peringkat tiga, setelah Jepang dan Mandarin,”.
Dikutip dari web tersebut: “Wikipedia Indonesia kini berada di peringkat 26 dari 250 Wikipedia berbahasa asing di dunia. Sedangkan di tingkat Asia kita berada di peringkat tiga, setelah Jepang dan Mandarin,”.
* Bahasa Indonesia bahasa ketiga yang paling banyak digunakan pada wordpress.
Penulis blog ini adalah salah satu pengguna multiply yang pernah mengikuti acara Wordcamp Indonesia. acara ini sebelumnya pernah diselenggarakan di Filipina dan Thailand.
Penulis blog ini adalah salah satu pengguna multiply yang pernah mengikuti acara Wordcamp Indonesia. acara ini sebelumnya pernah diselenggarakan di Filipina dan Thailand.
Dikutip dari blog tersebut, “fakta bahwa setelah Spanyol, Bahasa
Indonesia adalah Bahasa yang menempati urutan ketiga yang paling banyak
digunakan dalam posting-posting WordPress. Indonesia pun adalah negara
kedua terbesar di dunia yang pertumbuhannya paling cepat dalam
penggunaan engine blog itu. Dalam 6 bulan terakhir tercatat 143.108
pengguna baru WordPress dari Indonesia dan telah ada 117.601.633
kunjungan melalui 40 kota di Indonesia.”
Itu tadi beberapa fakta akan keberadaan bahasa Indonesia di Internet
dan Dunia. Saya harap dengan bukti ini bangsa Indonesia menjadi lebih
cinta dengan bahasa Indonesia.
Lantas, bagaimana dengan pernyataan saudara Bayu Sutrisno mengenai
bahasa Indonesia adalah bahasa tersulit ke tiga di dunia? Untuk berita
ini belum saya dapatkan kebenarannya, namun salah seorang peserta forum,
animegic mengatakan bahwa menurut penelitian lembaga bahasa di dunia,
dilihat dari segi gramatikal dan kompleksitivitasnya bahasa-bahasa yang
dianggap sangat sulit di dunia adalah
1. bahasa ibrani (bahasa kaum Yahudi)
2. bahasa yunani
3. bahasa latin
4. bahasa jepang
5. bahas korea
2. bahasa yunani
3. bahasa latin
4. bahasa jepang
5. bahas korea
sementara bahasa indonesia secara mengejutkan menempati bahasa
tersulit ke 15 di dunia, diakibatkan terlalu banyaknya partikel dan
pengindahan tata aturan bahasa.
Namun sumber tersebut belum pasti karena hanya diungkap melalui
forum, meski begitu terlepas dari benar tidaknya bahasa Indonesia
sebagai bahasa tersulit kelimabelas atau pun bahasa tersulit ketiga di
dunia, sebagai warga Negara Indonesia yang baik hendaknya kita junjung
bahasa tersebut, kita lestarikan bahasa Indonesia meski ancaman
kebudayaan asing semakin besar. Mari bersama penuhi sumpah pemuda.
Semoga bahasa Indonesia semakin jaya. Amin.
Sumber: pulsk.com* Bahasa Indonesia dipelajari oleh 45 Negara di dunia.
Isi berita Ini menegaskan jika bahasa Indonesia kini mulai dipelajari oleh 45 negara di dunia. Menurut Andri Hadi, negara yang mempelajari bahasa tersebut di antaranya adalah: Australia, Amerika, Kanada, Vietnam, dan banyak negara lainnya. Ia menjelaskan jika bahasa Indonesia menjadi bahasa popular keempat di Australia. Ada sekitar 500 sekolah mengajarkan bahasa Indonesia di sana. Bahkan anak-anak murid kelas 6 sekolah dasar di sana sudah mahir berbahasa Indonesia.
Isi berita Ini menegaskan jika bahasa Indonesia kini mulai dipelajari oleh 45 negara di dunia. Menurut Andri Hadi, negara yang mempelajari bahasa tersebut di antaranya adalah: Australia, Amerika, Kanada, Vietnam, dan banyak negara lainnya. Ia menjelaskan jika bahasa Indonesia menjadi bahasa popular keempat di Australia. Ada sekitar 500 sekolah mengajarkan bahasa Indonesia di sana. Bahkan anak-anak murid kelas 6 sekolah dasar di sana sudah mahir berbahasa Indonesia.
* Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua di Kota Ho Chi Minh.
Ho Chi Minh adalah ibukota negara Vietnam. Menurut seorang diplomat Indonesia. Pada bulan Desember 2007 Pemerintah Daerah Kota Ho Chi Minh, Vietnam, secara resmi mengumumkan Bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua di Kota Ho Chi Minh.Selain itu Konsul Jenderal RI di Ho Chi Minh City untuk periode 2007-2008, Irdamis Ahmad di Jakarta mengatakan, “Bahasa Indonesia sejajar dengan Bahasa Inggris, Prancis dan Jepang sebagai bahasa kedua yang diprioritaskan,”
Ho Chi Minh adalah ibukota negara Vietnam. Menurut seorang diplomat Indonesia. Pada bulan Desember 2007 Pemerintah Daerah Kota Ho Chi Minh, Vietnam, secara resmi mengumumkan Bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua di Kota Ho Chi Minh.Selain itu Konsul Jenderal RI di Ho Chi Minh City untuk periode 2007-2008, Irdamis Ahmad di Jakarta mengatakan, “Bahasa Indonesia sejajar dengan Bahasa Inggris, Prancis dan Jepang sebagai bahasa kedua yang diprioritaskan,”
Salah satu penyebab bahasa Indonesia begitu diminati oleh bangsa
Vietnam antara lain karena kemungkinan meningkatnya hubungan bilateral
antara Indonesia dengan Vietnam di masa depan.
* Wikipedia bahasa Indonesia yang menduduki peringkat ke 26 di dunia.
Dikutip dari web tersebut: “Wikipedia Indonesia kini berada di peringkat 26 dari 250 Wikipedia berbahasa asing di dunia. Sedangkan di tingkat Asia kita berada di peringkat tiga, setelah Jepang dan Mandarin,”.
Dikutip dari web tersebut: “Wikipedia Indonesia kini berada di peringkat 26 dari 250 Wikipedia berbahasa asing di dunia. Sedangkan di tingkat Asia kita berada di peringkat tiga, setelah Jepang dan Mandarin,”.
* Bahasa Indonesia bahasa ketiga yang paling banyak digunakan pada wordpress.
Penulis blog ini adalah salah satu pengguna multiply yang pernah mengikuti acara Wordcamp Indonesia. acara ini sebelumnya pernah diselenggarakan di Filipina dan Thailand.
Penulis blog ini adalah salah satu pengguna multiply yang pernah mengikuti acara Wordcamp Indonesia. acara ini sebelumnya pernah diselenggarakan di Filipina dan Thailand.
Dikutip dari blog tersebut, “fakta bahwa setelah Spanyol, Bahasa
Indonesia adalah Bahasa yang menempati urutan ketiga yang paling banyak
digunakan dalam posting-posting WordPress. Indonesia pun adalah negara
kedua terbesar di dunia yang pertumbuhannya paling cepat dalam
penggunaan engine blog itu. Dalam 6 bulan terakhir tercatat 143.108
pengguna baru WordPress dari Indonesia dan telah ada 117.601.633
kunjungan melalui 40 kota di Indonesia.”
Itu tadi beberapa fakta akan keberadaan bahasa Indonesia di Internet
dan Dunia. Saya harap dengan bukti ini bangsa Indonesia menjadi lebih
cinta dengan bahasa Indonesia.
Lantas, bagaimana dengan pernyataan saudara Bayu Sutrisno mengenai
bahasa Indonesia adalah bahasa tersulit ke tiga di dunia? Untuk berita
ini belum saya dapatkan kebenarannya, namun salah seorang peserta forum,
animegic mengatakan bahwa menurut penelitian lembaga bahasa di dunia,
dilihat dari segi gramatikal dan kompleksitivitasnya bahasa-bahasa yang
dianggap sangat sulit di dunia adalah
1. bahasa ibrani (bahasa kaum Yahudi)
2. bahasa yunani
3. bahasa latin
4. bahasa jepang
5. bahas korea
2. bahasa yunani
3. bahasa latin
4. bahasa jepang
5. bahas korea
sementara bahasa indonesia secara mengejutkan menempati bahasa
tersulit ke 15 di dunia, diakibatkan terlalu banyaknya partikel dan
pengindahan tata aturan bahasa.
Namun sumber tersebut belum pasti karena hanya diungkap melalui
forum, meski begitu terlepas dari benar tidaknya bahasa Indonesia
sebagai bahasa tersulit kelimabelas atau pun bahasa tersulit ketiga di
dunia, sebagai warga Negara Indonesia yang baik hendaknya kita junjung
bahasa tersebut, kita lestarikan bahasa Indonesia meski ancaman
kebudayaan asing semakin besar. Mari bersama penuhi sumpah pemuda.
Semoga bahasa Indonesia semakin jaya. Amin.
Sumber: pulsk.com
Menyoal Pengajaran Bahasa Indonesia di Daerah Terpencil
Bahasa merupakan salah satu aspek dominan dalam proses pendidikan. Bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi untuk transfer pengetahuan tetapi bahasa juga sebagai sebuah ilmu, yang bisa membentuk karakter seseorang. Menurut
Dirjen Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Prof.
Suyanto, Phd pada seminar nasional dan temu alumni yang diselenggarakan
dewan pengurus pusat ikatan alumni UNY, sabtu 5 mei 2012 bahwa “ bahasa
ibu perlu diajarkan sejak dini kepada anak, meskipun bahasa Indonesia
juga perlu”.
Selanjutnya
pada tulisan ini penulis mencoba melihat bagaimana proses pengajaran
bahasa Indonesia di daerah-daerah terpencil yang ada di Indonesia.
Sebagian besar pengajaran pada tahapan SD yang ada di daerah-daerah
terpencil ini sangat di dominasi oleh bahasa daerah. Memang benar bahasa
daerah tidak bisa disampingkan. Sebagaimana mana pengajaran bahasa
daerah diakomodasi di dalam muatan lokal yang mempunyai landasan yang
kuat sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat (1) dan pasal 38 ayat (2) dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan. Kebijakan yang berkaitan dengan
dimasukkannya program muatan lokal dalam Standar Isi dilandasi kenyataan
bahwa di Indonesia terdapat beranekaragam kebudayaan. Sekolah tempat
program pendidikan dilaksanakan merupakan bagian dari masyarakat. Oleh
karena itu, program pendidikan di sekolah perlu memberikan wawasan yang
luas pada peserta didik tentang kekhususan yang ada di lingkungannya.
Secara
umum pengajaran bahasa Indonesia di daerah-daerah terpencil ini
mempunyai kendala-kendala yaitu pertama: guru yang mengajar tidak
memiliki kemampuan yang mumpuni dalam pegetahuan bahasa indonesia
sebagai sebuah ilmu. Sehingga lebih
kepada menggugurkan kewajiban saja, tuduhan ini bukan tanpa alasan.
Pelajaran Bahasa indonesia dijadikan pelajaran “strata dua”. Penulis
merasa prihatin terhadap hal ini, Ini tentu bukan kesalahan sekolah dan
guru. Diakui atau tidak untuk mencari pengajar yang memang menguasai
ilmu bahasa khususnya Bahasa indonesia sulit untuk dilakukan oleh
sekolah. Makanya tidak mengherankan jika pelajaran bahasa indonesia ada
yang diajarkan oleh guru dari berbagai disiplin ilmu. Pertanyaan yang
selanjutnya yang perlu diajukan, apakah dalam pengajaran Bahasa
indonesia yang dilakukan oleh bukan ahlinya akan berhasil dalam proses
pengajaranya? Padahal sebagai mana pengetahuan pengajaran
bahasa merupakan sesuatu yang kompleks, karena bahasa merupakan
cerminan suatu budaya, dan beragam unsur moral yang disampaikan dalam
kesusateraanya. Sebagai contoh puisi dan pantun yang memilki nilai luhur
dan pesan moral yang mendalam dalam karya sastra tersebut. Rasanya
tidak mungkin berhasil dalam proses pembelajaran jika guru yang tidak
paham dalam kesusasteraan. Untuk mengajarkan pantun misalnya seorang
guru Bahasa indonesia perlu memahami nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Nilai moral, budaya, itu harus dikaji, dianalisis, dan jika diperlukan diberi spirit baru yang sesuai dengan jiwa zaman, sehingga
pembelajaran itu sangat bermakna bagi peserta didik. Dan pada akhirnya
nilai-nilai yang telah didapatkanya dari sebuah karya tadi bisa
diimplementasikan dalam komunitas yang lebih besar agar dapat bertunas serta hidup subur di tengah-tengah masyarakat pendukungnya.
Selanjutnya
kendala yang kedua adalah kuatnya dominasi pengunaan Bahasa daerah di
sekolah. Dalam pengajaran Bahasa indonesia, bahasa pengantar yang
digunakan guru dominan bahasa daerah. Hal ini untuk membiasakan siswa
dan guru dapat terbiasa dalam mengunakan Bahasa daerah dibandingkan
bahasa indonesia. Adanya dominasi Bahasa daerah ini paling tidak bisa
menyebabkan pudarnya pengunaan Bahasa indonesia. Dan yang ketiga
kebijakan pemerintah/dinas pendidikan kurang mendukung, dapat dilihat
tidak atau masih jarangnya pelatihan atau training dalam pengajaran
Bahasa Indonesia untuk guru-guru daerah terpencil khususnya guru SD. Ini
tidak boleh dibiarkan bahasa indonesia adalah sesuatu yang mempunyai
nilai strategis yang wajib di pelihara. Untuk menyikapi hal ini perlu
adanya keseriusan dari seluruh rakyat dan dinas terkait untuk menjaga
dan mengembangkan bahasa Indonesia tercinta. Kita
tidak boleh menyerahkan sepenuhnya proses pengajaran bahasa indonesia
berlangsung secara “alami”, Pengajaran bahasa indonesia perlu sentuhan
ahlinya.
Solusi
Diperlukan
perhatian serius kita semua, terutama pemerintah daerah dan dinas
pendidikan untuk memberikan berbagai pelatihan bagi para guru-guru
Bahasa Indonesia yang ada di daerah-daerah terpencil. Dalam upaya
pengoptimalan pengajaran Bahasa indonesia tersebut. Pelatihan diharapkan
dapat meningkatakan penguasaan guru-guru Bahasa indonesia terhadap
pelajaran Bahasa indonesia. Sehingga Pengajaran Bahasa indonesia lebih
bermakna baik dalam penyampaianya, transformasi objek factual, kata,
frasa, klausa, kalimat, dan wacana yang ada dalam sebuah buku teks. Ini
merupakan tugas berat kita dalam menjaga kelestarian aset paling
berharga warisan luhur nenek moyang kita. Kemudian memang harus diakui
pula bahwa untuk mencari lulusan atau pengajar yang memiliki jurusan
khusus Bahasa Indonesia yang mau ditempatkan di daerah terpencil agak
sulit rasanya. Akan tetapi melatih guru yang ada merupakan solusi yang
sementara untuk jangka panjangnya diperlukan proses distribusi guru yang
sesuai kebutuhan
Mahasiswa dan Bahasa Indonesia
Mereka tentu saja telah lulus pelajaran Bahasa Indonesia dalam Ujian
Nasional dan ujian masuk perguruan tinggi atau Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB). Lalu untuk apa lagi mahasiswa baru belajar bahasa
nasional dan negara ini di perguruan tinggi dengan bobot hanya dua
satuan kredit semester (2 SKS)? Apakah ini karena amanat pasal 37 (ayat
2) Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas)? Apa lagi yang harus diajarkan dosen kepada mereka? Bukankah
sejak SD hingga SMA mereka sudah belajar Bahasa Indonesia dari A
sampai dengan Z? Apakah ada perbedaan materi Bahasa Indonesia antara
perguruan tinggi dengan sekolah-sekolah di bawahnya?
Menurut pengamatan penulis, ternyata dosen umumnya lagi-lagi mengajarkan materi kuliah Bahasa Indonesia sama dengan yang telah diberikan para guru Bahasa Indonesia di SD, Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan SMA. Para dosen kembali mengajarkan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan, dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Tidak jarang mahasiswa diperlakukan seperti mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia di Fakultas Sastra dan Bahasa. Seolah-olah mereka dididik menjadi calon ahli bahasa atau calon sarjana Bahasa Indonesia. Oleh karena materi yang sama telah mereka peroleh sebelumnya, maka banyak mahasiswa baru yang mengikuti kuliah Bahasa Indonesia dengan setengah hati atau merasa sangat terpaksa, demi nilai atau indeks prestasi belaka.
Mereka benar-benar merasa sangat bosan belajar bahasa perhubungan nasional ini. Setelah 12 tahun belajar Bahasa Indonesia, apakah mereka sudah mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara tertulis maupun terlisan?
Pengalaman penulis sebagai dosen selama 18 tahun, yang tiap hari memeriksa tulisan-tulisan mahasiswa, membuktikan, ternyata sebagian besar mahasiswa, termasuk yang sudah duduk di semester VIII atau tingkat akhir, tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara terlisan maupun (apalagi) secara tertulis. Ah, jangankan mahasiswa program diploma tiga (D3) atau mahasiswa program sarjana atau strata satu (S1), mahasiswa S2 dan S3 sajapun ternyata masih sangat banyak yang tidak becus berbahasa Indonesia. Padahal, sebagian besar mereka sudah berkarir sebagai dosen selama belasan, bahkan puluhan tahun.
Lihat juga karya tulis para wartawan yang sudah belasan atau puluhan tahun menulis. Tiap hari dengan mudah kita menemukan kesalahan mendasar mereka dalam berbahasa Indonesia di media massa cetak dan elektronik.
Simaklah beberapa contoh tulisan mahasiswa yang penulis kutip dari kertas jawaban ujian akhir semester, Laporan Tugas Akhir (LTA) mahasiswa program D3, skripsi mahasiswa S1, dan tesis mahasiswa S2. Agar cepat tertangkap mata, penulis sengaja menebalkan semua tulisan kutipan murni tersebut. Ini contoh kalimat yang ditulis seorang mahasiswa program S1 Jurusan Komunikasi di sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) Bandung dalam kertas jawaban ujian akhir semester VI mata kuliah Penulisan Artikel, “Hubungan antara dunia penulisan, terutama penulisan artikel dengan peradaban mempunyai hubungan karena penulisan sudah ada sejak zaman peradaban, dalam arti disini penulisan sudah ada sejak dahulu kala dimana manusia memakai alat seperti daun batu sebagai alat untuk menulis dan menyampaikan pesan.”
Ini contoh beberapa kalimat yang ditulis seorang mahasiswa program S1 Jurusan Jurnalistik di sebuah PTS Bandung yang sedang mengikuti praktik mata kuliah Penulisan Berita (semester V). Demikian ia tulis dalam teras berita atau paragraf pertamanya, “Bapak Kapolres Bandung Drs. Supratman M.H. dalam menyikapi kemerdekaan negara Indonesia yang ke 60 tahun ini tentunya sedikit sibuk daripada hari biasanya. Seperti halnya tugas pokok polisi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, pelayanan kepada masyarakat dan membuat masyarakat untuk menghargai apa arti kemerdekaan.”
Pada paragraf ketiga ia menulis demikian, “Drs. Supratman M.H menyikapi sekarang ini rakyat Indonesia sudah merdeka yang ke 60 tahun arti kemerdekaan berarti bebas menentukan apa yang kita mau, Indonesia menjadi negara yang tidak tergantung kepada negara lain.”
Berikut contoh kalimat-kalimat seorang mahasiswa semester VI program S1 FISIP sebuah PTS Bandung yang sedang berpraktik kuliah Penulisan Berita Khas (feature), “Setelah peraturan dibacakan dan di pahami oleh peserta maka acara panjat pinang pun di mulai. Acara mulai pada pukul 15.20 WIB. Jumlah peserta untuk anak-anak berjumlah dua tim, sedangkan untuk dewasa berjumlah empat tim. Acara di mulai oleh bagian anak-anak terlebih dahulu.”
Kelemahan berbahasa Indonesia juga dialami oleh mahasiswa program D3. Ini dengan mudah kita temukan dalam karya-karya ilmiah atau LTA mereka. Berikut ini contoh kalimat-kalimat dalam LTA seorang mahasiswa program D3 Periklanan di sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Jatinangor, Jawa Barat, “Penggunaan internet di Indonesia mengalami penurunan drastis pada tahun 1997. Hal tersebut disebabkan karena pada saat itu Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi. Dua tahun kemudian keadaan ekonomi di Indonesia sudah mulai membaik. Hal ini berdampak positif bagi para pengusaha dalam negeri, dan membuat internet kembali banyak digunakan oleh orang-orang diIndonesia.”
Pada paragraf berikutnya ia menulis begini, “Menurut penelitian secara konsisten, menunjukkan bahwa para pengguna internet biasanya tergolong kaum muda, terdidik dan dengan pendapatan tinggi.”
Ternyata di dalam karya ilmiah akhir (skripsi) mahasiswa program S1 juga dengan mudah kita menemukan berbagai kesalahan. Ini contoh kalimat dalam skripsi mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) sebuah PTN di Jatinangor,“Bagi instansi-instansi dan perusahaan yang mengadopsi sistem HSN, kegiatan penataran ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana memperkenalkan dan mendidik anggotanya dalam katalogisasi materiil, sehingga proses pengadopsian dan penerapannya di dalam organisasi tersebut dapat lebih efektif dan efisien. Sedangkan bagi publik internal, dalam hal ini para pegawai, usaha mewujudkan efisiensi kerja ini memerlukan dukungan dari kegiatan Purel.”
Lalu bagaimana dengan kemampuan berbahasa Indonesia mahasiswa S2? Seperti halnya mahasiswa D3 dan S1, ternyata sebagian mahasiswa S2 dan S3 juga masih lemah dalam berbahasa Indonesia. Berikut contoh kalimat yang penulis kutip dari sebuah tesis mahasiswa S2 Perpustakaan sebuah PTN terbesar di Jakarta, “Alasan memilih kedua jenis jasa tersebut, dikarenakan layanan PITI merupakan salah satu jenis jasa yang sudah lama ‘dijual’ atau dipasarkan untuk umum dan FTI adalah jasa layanan yang masih relatif baru dipasarkan.”
Pada paragraf lain dosen itu menulis demikian, “Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak terhadap banyaknya informasi yang dihasilkan dan dikemas dalam berbagai bentuk, sehingga lahirlah suatu istilah yang dinamakan ‘ledakan informasi’.”
Pada kesempatan lain tentu penulis dapat mengungkapkan beberapa contoh berbahasa buruk para mahasiswa S3 dalam disertasi. Bahasa buruk para dosen atau ilmuwan juga bisa kita temukan pada buku-buku atau makalah-makalah atau artikel-artikel atau laporan penelitian.
Paparan singkat di atas membuktikan ketidakmampuan sebagian (besar?) mahasiswa dalam berbahasa Indonesia, dalam hal ini bahasa tulisan. Lalu apa yang mesti dikerjakan para dosen Bahasa Indonesia yang ternyata tidak semua bergelar sarjana Bahasa Indonesia?
Menurut penulis, mahasiswa yang bukan calon sarjana/lulusan program studi bahasa, harus dilatih secara intensif berbahasa Indonesia dalam konteks program studi/jurusan mereka masing-masing. Mahasiswa Fakultas Hukum, misalnya, ketika mengerjakan tugas tiap mata kuliah hukum, harus dilatih secara intensif menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik terlisan maupun tertulis. Demikian pula mahasiswa Jurusan Matematika, Farmasi, Teknik Sipil, Psikologi Pendidikan, Geografi, dan sebagainya.
Ini tentu saja berkonsekuensi terhadap para dosen. Artinya, setiap dosen mata kuliah apapun harus mampu mendidik para mahasiswa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam konteks ilmu atau program studi masing-masing. Dengan kata lain, setiap dosen harus mampu menjadi dosen Bahasa Indonesia. Selain itu para mahasiswa dapat diwajibkan memperkaya kosakata masing-masing melalui media massa cetak dan elektronik, buku-buku, dan media lain.
Tiap hari, misalnya, mahasiswa diwajibkan menambah minimal lima kata/istilah baru (baru bagi mahasiswa yang bersangkutan). Kata-kata atau istilah-istilah baru ini mereka cari atau temukan di media massa cetak dan elektronik, internet, brosur, buku-buku, dan media cetak lainnya. Dengan demikian, dalam satu semester (14 minggu) saja tiap mahasiswa memperkaya kosakatanya sebanyak 490 kata/istilah. Bila seorang mahasiswa program S1 kuliah selama delapan semester, maka selama masa belajar di perguruan tinggi ia telah memperkaya perbendaharaan katanya sebanyak 3.920 kata/istilah. Jadi, bila seseorang ketika pertama kali jadi mahasiswa kosakatanya masih miskin, misalnya hanya 3.500 kata, maka ketika menjelang tamat kosakatanya meningkat drastis, lebih 100 persen.
Selain belajar dari buku-buku teks Bahasa Indonesia, mahasiswa juga harus didorong belajar Bahasa Indonesia dari buku-buku lain yang relevan, misalnya kaitan erat antara bahasa dengan kekuasaan (antara lain buku Norman Fairclough yang berjudul, Language and Power, Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi), hubungan antara bahasa dengan nasionalisme dan patriotisme (misalnya buku Alif Danya Munsyi yang berjudul, Bahasa Menunjukkan Bangsa), hubungan psikologi dengan bahasa (antara lain buku Soenjono Dardjowidjojo, Psiko-Linguistik) atau hubungan antara penguasaan bahasa dengan kesuksesan dalam karir, ba hasa dan komunikasi, serta buku-buku kumpulan kritik/rubrik bahasa di koran-koran dan majalah, seperti terbitan Buku Kompas Jakarta yang berjudul, Dari Katabelece sampai Kakus (suntingan Nuradji) dan Inul Itu Diva? (suntingan Salomo Simanungkalit).
Dosen dan mahasiswa dapat pula tiap minggu mendiskusikan tulisan yang muncul rutin dalam rubrik bahasa di koran-koran harian (contohnya di Kompas tiap Jumat, di Media Indonesia dan Pikiran Rakyat tiap Sabtu) serta di majalah bulanan Intisari. Artikel-artikel opini yang berkaitan langsung dan tak langsung dengan bahasa Indonesia yang dimuat di media massa cetak pun jangan pula dilewatkan. Ini dapat didiskusikan di kelas setelah mahasiswa membuat tanggapan atau pembahasannya secara tertulis.
Penulis teringat ajaran lama pakar paedagogi revolusioner ternama dari Brasil, Paulo Freire. Ia mengajarkan pendidikan dialogis. Ia menegaskan, bukan guru mengajari murid, melainkan guru dan murid sama-sama belajar. Mereka saling berbagi pengalaman dan masalah-masalah nyata yang dihadapi sendiri atau bersama. Tujuan pendidikan, katanya, adalah penyadaran, bukan indoktrinasi. Dalam konteks tulisan ini, bukan dosen bahasa Indonesia mengajari mahasiswa, melainkan dosen bahasa Indonesia dan mahasiswa sama-sama belajar bahasa Indonesia. Mereka saling berbagi pengalaman dan masalah dalam berbahasa nasional kita. Dengan berbagai upaya kreatif dan inovatif ini, kita harapkan para mahasiswa semester I tidak bosan mengikuti mata kuliah Bahasa Indonesia yang hanya 100 menit per minggu.
Bila beberapa upaya ini dapat dilaksakanakan sungguh-sungguh dan dengan senang hati oleh para mahasiswa dan dosen bahasa Indonesia, maka kita yakin para lulusan perguruan tinggi kita tidak hanya mampu dan terampil berbahasa Indonesia secara terlisan dan tertulis, tetapi juga sungguh-sungguh mencintai bahasa nasional mereka sendiri. Mereka merasa sangat bangga menggunakan bahasa negerinya sendiri sebagaimana mereka juga sangat bangga sebagai orang Indonesia.
Menurut pengamatan penulis, ternyata dosen umumnya lagi-lagi mengajarkan materi kuliah Bahasa Indonesia sama dengan yang telah diberikan para guru Bahasa Indonesia di SD, Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan SMA. Para dosen kembali mengajarkan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan, dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Tidak jarang mahasiswa diperlakukan seperti mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia di Fakultas Sastra dan Bahasa. Seolah-olah mereka dididik menjadi calon ahli bahasa atau calon sarjana Bahasa Indonesia. Oleh karena materi yang sama telah mereka peroleh sebelumnya, maka banyak mahasiswa baru yang mengikuti kuliah Bahasa Indonesia dengan setengah hati atau merasa sangat terpaksa, demi nilai atau indeks prestasi belaka.
Mereka benar-benar merasa sangat bosan belajar bahasa perhubungan nasional ini. Setelah 12 tahun belajar Bahasa Indonesia, apakah mereka sudah mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara tertulis maupun terlisan?
Pengalaman penulis sebagai dosen selama 18 tahun, yang tiap hari memeriksa tulisan-tulisan mahasiswa, membuktikan, ternyata sebagian besar mahasiswa, termasuk yang sudah duduk di semester VIII atau tingkat akhir, tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara terlisan maupun (apalagi) secara tertulis. Ah, jangankan mahasiswa program diploma tiga (D3) atau mahasiswa program sarjana atau strata satu (S1), mahasiswa S2 dan S3 sajapun ternyata masih sangat banyak yang tidak becus berbahasa Indonesia. Padahal, sebagian besar mereka sudah berkarir sebagai dosen selama belasan, bahkan puluhan tahun.
Lihat juga karya tulis para wartawan yang sudah belasan atau puluhan tahun menulis. Tiap hari dengan mudah kita menemukan kesalahan mendasar mereka dalam berbahasa Indonesia di media massa cetak dan elektronik.
Simaklah beberapa contoh tulisan mahasiswa yang penulis kutip dari kertas jawaban ujian akhir semester, Laporan Tugas Akhir (LTA) mahasiswa program D3, skripsi mahasiswa S1, dan tesis mahasiswa S2. Agar cepat tertangkap mata, penulis sengaja menebalkan semua tulisan kutipan murni tersebut. Ini contoh kalimat yang ditulis seorang mahasiswa program S1 Jurusan Komunikasi di sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) Bandung dalam kertas jawaban ujian akhir semester VI mata kuliah Penulisan Artikel, “Hubungan antara dunia penulisan, terutama penulisan artikel dengan peradaban mempunyai hubungan karena penulisan sudah ada sejak zaman peradaban, dalam arti disini penulisan sudah ada sejak dahulu kala dimana manusia memakai alat seperti daun batu sebagai alat untuk menulis dan menyampaikan pesan.”
Ini contoh beberapa kalimat yang ditulis seorang mahasiswa program S1 Jurusan Jurnalistik di sebuah PTS Bandung yang sedang mengikuti praktik mata kuliah Penulisan Berita (semester V). Demikian ia tulis dalam teras berita atau paragraf pertamanya, “Bapak Kapolres Bandung Drs. Supratman M.H. dalam menyikapi kemerdekaan negara Indonesia yang ke 60 tahun ini tentunya sedikit sibuk daripada hari biasanya. Seperti halnya tugas pokok polisi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, pelayanan kepada masyarakat dan membuat masyarakat untuk menghargai apa arti kemerdekaan.”
Pada paragraf ketiga ia menulis demikian, “Drs. Supratman M.H menyikapi sekarang ini rakyat Indonesia sudah merdeka yang ke 60 tahun arti kemerdekaan berarti bebas menentukan apa yang kita mau, Indonesia menjadi negara yang tidak tergantung kepada negara lain.”
Berikut contoh kalimat-kalimat seorang mahasiswa semester VI program S1 FISIP sebuah PTS Bandung yang sedang berpraktik kuliah Penulisan Berita Khas (feature), “Setelah peraturan dibacakan dan di pahami oleh peserta maka acara panjat pinang pun di mulai. Acara mulai pada pukul 15.20 WIB. Jumlah peserta untuk anak-anak berjumlah dua tim, sedangkan untuk dewasa berjumlah empat tim. Acara di mulai oleh bagian anak-anak terlebih dahulu.”
Kelemahan berbahasa Indonesia juga dialami oleh mahasiswa program D3. Ini dengan mudah kita temukan dalam karya-karya ilmiah atau LTA mereka. Berikut ini contoh kalimat-kalimat dalam LTA seorang mahasiswa program D3 Periklanan di sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Jatinangor, Jawa Barat, “Penggunaan internet di Indonesia mengalami penurunan drastis pada tahun 1997. Hal tersebut disebabkan karena pada saat itu Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi. Dua tahun kemudian keadaan ekonomi di Indonesia sudah mulai membaik. Hal ini berdampak positif bagi para pengusaha dalam negeri, dan membuat internet kembali banyak digunakan oleh orang-orang diIndonesia.”
Pada paragraf berikutnya ia menulis begini, “Menurut penelitian secara konsisten, menunjukkan bahwa para pengguna internet biasanya tergolong kaum muda, terdidik dan dengan pendapatan tinggi.”
Ternyata di dalam karya ilmiah akhir (skripsi) mahasiswa program S1 juga dengan mudah kita menemukan berbagai kesalahan. Ini contoh kalimat dalam skripsi mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) sebuah PTN di Jatinangor,“Bagi instansi-instansi dan perusahaan yang mengadopsi sistem HSN, kegiatan penataran ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana memperkenalkan dan mendidik anggotanya dalam katalogisasi materiil, sehingga proses pengadopsian dan penerapannya di dalam organisasi tersebut dapat lebih efektif dan efisien. Sedangkan bagi publik internal, dalam hal ini para pegawai, usaha mewujudkan efisiensi kerja ini memerlukan dukungan dari kegiatan Purel.”
Lalu bagaimana dengan kemampuan berbahasa Indonesia mahasiswa S2? Seperti halnya mahasiswa D3 dan S1, ternyata sebagian mahasiswa S2 dan S3 juga masih lemah dalam berbahasa Indonesia. Berikut contoh kalimat yang penulis kutip dari sebuah tesis mahasiswa S2 Perpustakaan sebuah PTN terbesar di Jakarta, “Alasan memilih kedua jenis jasa tersebut, dikarenakan layanan PITI merupakan salah satu jenis jasa yang sudah lama ‘dijual’ atau dipasarkan untuk umum dan FTI adalah jasa layanan yang masih relatif baru dipasarkan.”
Pada paragraf lain dosen itu menulis demikian, “Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak terhadap banyaknya informasi yang dihasilkan dan dikemas dalam berbagai bentuk, sehingga lahirlah suatu istilah yang dinamakan ‘ledakan informasi’.”
Pada kesempatan lain tentu penulis dapat mengungkapkan beberapa contoh berbahasa buruk para mahasiswa S3 dalam disertasi. Bahasa buruk para dosen atau ilmuwan juga bisa kita temukan pada buku-buku atau makalah-makalah atau artikel-artikel atau laporan penelitian.
Paparan singkat di atas membuktikan ketidakmampuan sebagian (besar?) mahasiswa dalam berbahasa Indonesia, dalam hal ini bahasa tulisan. Lalu apa yang mesti dikerjakan para dosen Bahasa Indonesia yang ternyata tidak semua bergelar sarjana Bahasa Indonesia?
Menurut penulis, mahasiswa yang bukan calon sarjana/lulusan program studi bahasa, harus dilatih secara intensif berbahasa Indonesia dalam konteks program studi/jurusan mereka masing-masing. Mahasiswa Fakultas Hukum, misalnya, ketika mengerjakan tugas tiap mata kuliah hukum, harus dilatih secara intensif menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik terlisan maupun tertulis. Demikian pula mahasiswa Jurusan Matematika, Farmasi, Teknik Sipil, Psikologi Pendidikan, Geografi, dan sebagainya.
Ini tentu saja berkonsekuensi terhadap para dosen. Artinya, setiap dosen mata kuliah apapun harus mampu mendidik para mahasiswa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam konteks ilmu atau program studi masing-masing. Dengan kata lain, setiap dosen harus mampu menjadi dosen Bahasa Indonesia. Selain itu para mahasiswa dapat diwajibkan memperkaya kosakata masing-masing melalui media massa cetak dan elektronik, buku-buku, dan media lain.
Tiap hari, misalnya, mahasiswa diwajibkan menambah minimal lima kata/istilah baru (baru bagi mahasiswa yang bersangkutan). Kata-kata atau istilah-istilah baru ini mereka cari atau temukan di media massa cetak dan elektronik, internet, brosur, buku-buku, dan media cetak lainnya. Dengan demikian, dalam satu semester (14 minggu) saja tiap mahasiswa memperkaya kosakatanya sebanyak 490 kata/istilah. Bila seorang mahasiswa program S1 kuliah selama delapan semester, maka selama masa belajar di perguruan tinggi ia telah memperkaya perbendaharaan katanya sebanyak 3.920 kata/istilah. Jadi, bila seseorang ketika pertama kali jadi mahasiswa kosakatanya masih miskin, misalnya hanya 3.500 kata, maka ketika menjelang tamat kosakatanya meningkat drastis, lebih 100 persen.
Selain belajar dari buku-buku teks Bahasa Indonesia, mahasiswa juga harus didorong belajar Bahasa Indonesia dari buku-buku lain yang relevan, misalnya kaitan erat antara bahasa dengan kekuasaan (antara lain buku Norman Fairclough yang berjudul, Language and Power, Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi), hubungan antara bahasa dengan nasionalisme dan patriotisme (misalnya buku Alif Danya Munsyi yang berjudul, Bahasa Menunjukkan Bangsa), hubungan psikologi dengan bahasa (antara lain buku Soenjono Dardjowidjojo, Psiko-Linguistik) atau hubungan antara penguasaan bahasa dengan kesuksesan dalam karir, ba hasa dan komunikasi, serta buku-buku kumpulan kritik/rubrik bahasa di koran-koran dan majalah, seperti terbitan Buku Kompas Jakarta yang berjudul, Dari Katabelece sampai Kakus (suntingan Nuradji) dan Inul Itu Diva? (suntingan Salomo Simanungkalit).
Dosen dan mahasiswa dapat pula tiap minggu mendiskusikan tulisan yang muncul rutin dalam rubrik bahasa di koran-koran harian (contohnya di Kompas tiap Jumat, di Media Indonesia dan Pikiran Rakyat tiap Sabtu) serta di majalah bulanan Intisari. Artikel-artikel opini yang berkaitan langsung dan tak langsung dengan bahasa Indonesia yang dimuat di media massa cetak pun jangan pula dilewatkan. Ini dapat didiskusikan di kelas setelah mahasiswa membuat tanggapan atau pembahasannya secara tertulis.
Penulis teringat ajaran lama pakar paedagogi revolusioner ternama dari Brasil, Paulo Freire. Ia mengajarkan pendidikan dialogis. Ia menegaskan, bukan guru mengajari murid, melainkan guru dan murid sama-sama belajar. Mereka saling berbagi pengalaman dan masalah-masalah nyata yang dihadapi sendiri atau bersama. Tujuan pendidikan, katanya, adalah penyadaran, bukan indoktrinasi. Dalam konteks tulisan ini, bukan dosen bahasa Indonesia mengajari mahasiswa, melainkan dosen bahasa Indonesia dan mahasiswa sama-sama belajar bahasa Indonesia. Mereka saling berbagi pengalaman dan masalah dalam berbahasa nasional kita. Dengan berbagai upaya kreatif dan inovatif ini, kita harapkan para mahasiswa semester I tidak bosan mengikuti mata kuliah Bahasa Indonesia yang hanya 100 menit per minggu.
Bila beberapa upaya ini dapat dilaksakanakan sungguh-sungguh dan dengan senang hati oleh para mahasiswa dan dosen bahasa Indonesia, maka kita yakin para lulusan perguruan tinggi kita tidak hanya mampu dan terampil berbahasa Indonesia secara terlisan dan tertulis, tetapi juga sungguh-sungguh mencintai bahasa nasional mereka sendiri. Mereka merasa sangat bangga menggunakan bahasa negerinya sendiri sebagaimana mereka juga sangat bangga sebagai orang Indonesia.
BAHASA INDONESIA BERPELUANG MENJADI BAHASA INTERNASIONAL
Jika kita amati di lingkungan kita,
penggunaan bahasa Indonesia tentu sudah menjadi bahasa sehari-hari yang
sering kita dengar di telinga kita. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia . Lalu
bagaimana dengan penggunaan bahasa asing?. Bahasa asing seperti bahasa
Inggris, Mandarin, Jepang dan bahasa asing lainnya sudah diberlakukan
diberbagai sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan jenjang
Universitas. Melihat perkembangan pembelajaran bahasa asing yang sudah
meluas diberbagai tingkatan pendidikan, pernahkah terpikir oleh anda
agar bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional?
Dr Sugiyono selaku Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan di
Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjelaskan bahwa,
untuk menerapkan bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional harus
dimulai sejak sekarang. “Saat ini Indonesia sudah mempunyai landasan hukum yang kuat dimana pemerintah diminta untuk mengupayakan bahasa Indonesia menjadi Bahasa Internasional,” tegas Pak Sugiyono.
Sugiyono juga menjelaskan bahwa, bahasa Internasional bukan sekedar
bahasa yang digunakan secara meluas saja, tetapi harus kuat sebaran
penggunaannya, serta forum penggunaannya pun harus kuat. Sebagai contoh,
apabila dalam forum resmi majelis antar parlemen di ASEAN sepakat
mengijinkan bahasa Indonesia digunakan pada forum itu, berarti Indonesia
telah mengalami kenaikan satu tingkat dimana bahasa Indonesia bukan
lagi sebagai bahasa Nasional melainkan naik ke level ASEAN.
Dalam Undang-undang no 24 tahun 2009 pada pasal 28 tertulis ”Bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden,
dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar
negeri”. Pelaksanaan dari isi pasal tersebut dilakukan oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada maret 2010 di hadapan parlemen Australia.
Adapun manfaat pertama yang akan kita dapat apabila bahasa Indonesia
menjadi bahasa Internasional, maka negara manapun akan menghargai negara
Indonesia (NKRI). Sementara manfaat keduanya, daya saing bangsa
Indonesia pun akan meningkat, demikian penuturan yang disampaikan oleh
Sugiyono.
Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan juga telah melakukan beberapa usaha demi mewujudkan bahasa
Indonesia menjadi bahasa Internasional. Usaha-usaha tersebut antara
lain, dengan memfasilitasi lembaga pembelajaran bahasa Indonesia untuk
masyarakat Indonesia yang berdomisili di luar negeri namun belum bisa
berbahasa Indonesia. Fasilitas yang diberikan yaitu dengan pengadaan
guru-guru yang berkualitas, serta panduan-panduan pembelajaran dari
Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dengan adanya upaya-upaya seperti itu, Badan Bahasa Kementerian dan
Pendidikan berharap agar semua masyarakat Indonesia mau mendukung
terwujudnya bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional.
Langganan:
Postingan (Atom)