Bahasa dan Sastra Sebagai Identitas Bangsa Dalam Proses Globalisasi
Pendahuluan
Kita tengah memasuki
abad XXI. Abad ini juga merupakan milenium III perhitungan Masehi.
Perubahan abad dan perubahan milenium ini diramalkan akan membawa
perubahan pula terhadap struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan
struktur kebudayaan dunia.
Fenomena paling menonjol yang tengah
terjadi pada kurun waktu ini adalah terjadinya proses globalisasi.
Proses perubahan inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang
ketiga, setelah berlangsung gelombang pertama (agrikultiur) dan
gelombang kedua (industri). Perubahan yang demikian menyebabkan
terjadinya pula pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber
pada tanah, kemudian kepada kapital atau modal, selanjutnya (dalam
gelombang ketiga) kepada penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan
dan tekhnologi).
Proses globalisasi ini lebih banyak
ditakuti daripada dipahami untuk kemudian diantisipasi dengan arif dan
cermat. Oleh rasa takut dan cemas yang berlebihan itu, antisipasi yang
dilakukan cenderung bersifat defensif membangun benteng-benteng
pertahanan dan merasa diri sebagai objek daripada subjek di dalam proses
perubahan.
Bagaimana dengan bahasa dan sastra?
Apakah yang terjadi dengan bahasa dan sastra Indonesia di dalam proses
globalisasi? Apakah yang harus dilakukan dan kebijakan yang bagaiman
yang harus diambil dalam hubungan sastra Indonesia dalam menghadapi
proses globalisasi atau di dalam era pasar bebas?
Mitos Tentang Globalisasi
Mitos yang hidup selama
ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat
dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri
. Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar
atau kekuatan budaya global.
Anggapan atau jalan pikiran yang demikian
tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah
membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknolgi telah membuat surutnya peranan kekuasaan
ideologi dan kekuasaan negara. Akan tetapi, Jhon Naisbitt dalam bukunya
Global Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari
fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt
mengatakan “Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin
perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi”. Ia di dalam
bukunya itu juga mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks
sehubungan dengan masalah ini. “Semakin kita menjadi universal, tindakan
kita semakin bersifat kesukuan”, “berfikir lokal, bersifat global.”
Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua orang, bahasa
pertama, bahasa ibu mereka, menjadi lebih penting dan dipertahankan
dengan lebih giat.
Dari pernyataan Naisbitt itu, kalau kita
mempercayai, proses globalisasi tetap menempatkan masalah lokal ataupun
masalah etnis (tribe) sebagai masalah yang penting yang harus
dipertimbangkan. Dalam bukunya yang lain Megatrends 2000, Naisbitt juga
mengatakan bahwa era yang akan datang adalah era kesenian dan era
pariwisata. Orang akan membelanjakan uangnya untuk bepergian dan
menikmati karya-karya seni. Peristiwa-peristiwa kesenian yang akan
menjadi perhatian utama dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang
sebelumnya lebih mendapat tempat.
“Berpikir lokal, bertindak global”,
seperti yang dikemukakan Naisbitt itu, pastilah akan menempatkan masalah
bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai
sesuatu yang penting di dalam era globalisasi. Proses berpikir tidak
akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk masyarakat
(lokal) Indonesia adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir dan kemudian
dilanjutkan proses kreatif, proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya
sastra, yakni karya sastra Indonesia.
Perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia
Di dalam sejarahnya,
bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa Indonesia yang
tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang kecil telah
berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah menjadi
bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian
besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu
itu telah “menggusur” sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa
Indonesia yang semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga
menggeser dan menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti
bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari
masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam
persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah
mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia
juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula.
Perkembangan yang demikian akan terus
berlanjut. Perkembangan tersebut akan banyak ditentukan oleh tingkat
kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat dan
kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa masyarakat kawasan ini,
yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan
Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia.
Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan
menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa
Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk
kawasan Asia Pasifik (mungkin termasuk Australia) menjadi tak
terelakkan. Peranan kawasan ini (termasuk masyarakatnya, tentu saja)
sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di
dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan
bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah semenjak lama
memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser
dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di
Nusantara.
Perubahan yang terjadi itu tidak hanya
menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan
permasalahan manusia baru (atau lebih tepat manusia marginal dan
tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan.
Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah tokoh
Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah
Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada
tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang
berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan
tertatih-tatih.
Dengan demikian, satra Indonesia (dan
Melayu) modern pada hakikatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang
mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia,
sastra Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi karena ia memang
berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan bahasa
dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah
masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan
masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia
(lainnya).
Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan
Alvin Toffler atau John Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola
kristal, bahasa Indonesia dan sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan
sastra) yang penting di dunia.
Politik Bahasan dan Politik Sastra
Proses globalisasi
kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya paradigma tentang
“pembinaan” dan “pengembangan” bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan
bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari
suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu
mengakomodasikan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang
mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaan dan pengembangan tidaklah
ditentukan oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat
ditentukan oleh
mekanisme “pasar”. Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan “bahasa yang baik dan benar”. Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.
mekanisme “pasar”. Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan “bahasa yang baik dan benar”. Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.
Di dalam kehidupan sastra juga diperlukan
suatu politik sastra. Sastra Indonesia harus lebih dimasyarakatkan,
tidak saja untuk bangsa Indonesia, tetapi juga untuk masyarakat yang
lebih luas. Penerbitan karya-karya sastra harus dilakukan dalam jumlah
yang besar. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi semestinya menjadi
tempat untuk membaca karya-karya sastra. Pengajaran sastra haruslah
menjadikan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran.
Di dalam proses globalisasi, posisi yang
harus diambil bukan sebagai objek perubahan, melainkan harus menjadi
subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia) amat potensial menjadi bahasa dan
sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global.
Jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan
hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia dan kawasan Asia Pasifik,
bahasa dan sastranya harus juga berkembang ke arah itu. Bahasa Melayu
(dan Indonesia) harus siap menerima peranan yang demikian. Sastra
Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah dunia
yang global. Bahasa dan sastra Indonesia (Melayu) harus mampu menjadikan
kekuatan budaya (global-trible) yang baru itu. Untuk itu, diperlukan
suatu politik bahasa ( dan sastra) yang terbuka, bukan bersifat
defensif.
Oleh:Prof. Dr. Mursai Esten
Sumber: Forum Bahasa dan Sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar